Yang Dicinta

Beberapa hari lalu saya membaca satu artikel menarik yang ditulis oleh Indras Indraswari di harian The Jakarta Post. Judulnya, Do We Love Our Children Unconditionally? Apakah kita mencintai anak-anak kita tanpa syarat? Atau bisa juga diartikan, Apakah kita mencintai anak-anak kita apa adanya? Apa yang ditulis Bu Indras adalah fenemona keseharian yang mungkin dialami oleh banyak orangtua. Ini tulisan tentang cinta orangtua pada anaknya. Ini juga tentang bagaimana orangtua mengartikan sukses anaknya dan bagaimana mereka mendorong agar anaknya mencapai kesuksesan tersebut.

Saya mengenal Bu Indras, meski tidak dekat. Beliau pernah datang ke diskusi yang saya selenggarakan baik sebagai pembicara, moderator, atau peserta. Bu Indras adalah penulis produktif. Tulisannya tentang berbagai isu, terutama menyangkut perempuan, sering muncul di The Jakarta Post. Dalam artikel kali ini ia bercerita tentang adanya orangtua yang terus mendorong anaknya untuk selalu mendapatkan nilai baik di sekolahnya. Tentu saja ini wajar.  Masalahnya, kerap kali keinginan orangtua agar anaknya mendapat nilai baik itu, ujungnya, agar mereka sebagai orangtua merasa senang dan karenanya mereka akan makin mencintai anaknya.

some parents praise their children for making them happy with their good marks, which make them love their children even more.”

“In general the atmosphere is more about the academic result than the process.”

Sebaliknya ada juga orangtua yang kemudian memarahi anaknya karena anaknya tidak mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Tidak memenuhi harapan orangtuanya. Padahal anaknya sudah berusaha.

“It seems to me that in such a case parents’ love of their children is conditional, dependent on what the children can give in return for what their parents do (and spend) for them.”

Para orangtua itu barangkali tidak sadar bahwa mereka telah menentukan sederet syarat sehingga mereka makin mencintai anak-anaknya, memberinya pujian, hadiah-hadiah.

Tulisan Indras, mengingatkan saya pada perkataan filsuf Prancis, Jacques Derrida, yang terekam dalam film dokementer tentang dirinya, Derrida (2005). Setelah mengaku, “I am not capable of talking in generalities about love,” Derrida berkata,

“Is love the love of someone or the love of some thing? Okay, supposing I loved someone. Do I love someone for the absolute singularity of who they are? I love you because you are you. Or do I love your qualities, your beauty, your intellegence? Does one love someone, or does one love something about someone? The different between the who and the what.

Derrida mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa sebenarnya yang kita cintai ketika kita mengatakan kita mencintai seseorang. Apakah kita mencintai orang itu atau mencintai sesuatu pada diri orang itu? Apakah para orangtua mencintai anaknya atau mencintai kecerdasan anaknya? Apakah para orangtua itu mencintai anaknya atau mencintai kualitas yang ada di diri anaknya? Jika orangtua mencintai anaknya hanya jika anaknya itu pintar, rajin belajar, dan seterusnya, berarti orangtua itu mencintai sesuatu pada diri anaknya. Bukan mencintai anaknya sebagai manusia utuh lengkap dengan kelebihan, kekurangan, dan segenap dinamika hidupnya. Dengan kata lain, cinta mereka pada anaknya memiliki syarat, memiliki ketentuan. Terkait ini, kasus yang tidak terlalu sulit ditemukan adalah ketika orangtua membeda-bedakan kadar sayang mereka ke satu anak daripada anak lainnya karena anak tersebut lebih pandai, lebih cerdas, daripada anak-anaknya yang lain. Padahal, jika dipikir ulang, bukankah tugas orangtua juga untuk mendidik semua anaknya menjadi anak yang pandai, menjadi anak yang bisa memaknai hidupnya, bisa mengenal diri dan tujuan hidupnya?

Indras menulis,

“As parents we have to motivate our children to fulfill their potential and to do their best. Nonetheless, we have to be sincere with ourselves whether we encourage our children to do the best for their own sakes or whether we actually push them to fulfill our unmet dreams.”

Leave a comment